Oleh: Samsoe Basaroedin
Abstrak
Di dunia modern ini selama lima dekade terakhir berlangsung perdebatan tak berkesudahan tentang apakah Sistem Ekonomi Islam benar-benar ada. Dunia modern menyaksikan bahwa hanya ada 2 narasi besar perekonomian dunia yaitu Sistem Kapitalisme dan Sistem Sosialisme. Bahkan perdebatan ada tidaknya Sistem Ekonomi Islam itu juga berlangsung sengit didalam kalangan internal Umat Islam sendiri. Oleh karena itu diperlukan sebuah tinjauan komprehensif tidak saja semata-mata dari sisi historis terhadap fakta-fakta sejarah namun juga diperlukan kajian mendasar dari aspek batang tubuh (body of knowledge) ajaran Islam itu sendiri terutama penelusuran dari teks asli Al-Qur’an maupun Sunnah Rasul. Dengan demikian kita akan memperoleh keyakinan yang positif mengenai keberadaan (eksistensi) Sistem Ekonomi Islam. Sekaligus untuk meyakinkan kita mengenai urgensi keadilan Sistem Ekonomi Islam dibandingkan kejahatan Sistem Kapitalisme yang telah mengakibatkan ketidakstabilan moneter perekonomian dunia saat ini.
PENDAHULUAN
Adakah Sistem Ekonomi Islam? Apakah Islam mengajarkan doktrin ekonomi yang signifikan berbeda dengan ke 2 narasi besar perekonomian dunia, baik Kapitalisme maupun Sosialisme? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini telah menjadi debat ilmiah tak berkesudahan sepanjang tiga dekade dari era 70-an sampai 90-an. Kini pun di era 2000-an jumlah PTN yang membuka Program Studi Ekonomi Islam tak lebih dari jumlah jari sebelah tangan. Di tambah yang diinisiasi oleh UIN atau IAIN juga tak lebih dari jumlah jari ke 2 belah tangan. Ironis sekali bukan?
SISTEM EKONOMI ISLAM
Jadi, adakah sesuatu yang khas Islam? Adakah paradigma yang membedakannya dengan Kapitalisme? Dengan Sosialisme? Abram Bergson dalam Productivity and The Social System, the USSR and The West’ mendefinisikan Sosialisme sebagai sistem kemasyarakatan yang didalamnya kepemilikan alat-alat produksi secara dominan dikuasai oleh negara. Sementara Kapitalisme dinyatakan sebagai sistem kemasyarakatan yang didalamnya kepemilikan alat-alat produksi bersifat campuran (antara milik swasta dengan milik negara) dengan kehadiran sektor swasta lebih substansial. Jadi, Kapitalisme memang berbeda bahkan berkebalikan dengan Sosialisme. Lalu, bagaimana halnya dengan sistem ekonomi Islam? Di dalam ‘Economics Teaching of Prophet Muhammad, A Select Anthology of Hadist Literature on Economics’, Muhammad Akram Khan menunjukkan paadigma kepemilikan yang khas Islami, melalui sebuah hadist shahih yang berasal dari kitab-kitab ‘Shahih Bukhari’, ‘Shahih Muslim’, dan ‘Sunan At Tirmidzi’. Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas RA bahwa Rasulullah
1. – Disampaikan pada Seminar & Lokakarya Ekonomi Syariah di Fakultas Ekonomi UNISBA tanggal 29 Mei 2009
– Dimuat sebagai Main Article (Artikel Utama) pada Jurnal Business Review MBA-ITB Volume 3 No. 3, th. 2008
– Disampaikan pada Pelatihan Perbankan Syariah yang diselenggarakan oleh Laboratorium Manajemen Fakultas Ekonomi (LMFE) Universitas Padjadjaran di Bandung, 18 Juli 2007
2. – Peneliti di Lembaga Pengembangan Ekonomi dan Manajemen Syariah (LPES) Salman ITB, Staf Khusus Pembina YPM Salman ITB, Narasumber tetap acara dialog interaktif Ekonomi Islam di Radio KLCBS (Jum’at Malam) dan di Radio K Lite (Ahad Pagi).
SAW menyatakan : “Seluruh kaum muslimin bersyarikat (bersama-sama memiliki) tiga sumber daya, yaitu sumber daya air, sumber daya hutan, dan sumber daya api atau energi. Dan harganya Haram”.
Ada hadist shahih lain yang menyatakan bahwa yang bersyarikat memiliki 3 sumber daya tersebut adalah ‘seluruh manusia/rakyat’.Muhammad Akram Khan menamainya Hak Milik Umum atau Hak Milik Kolektif Rakyat. Jadi, bukan Hak Milik Negara, terlebih-lebih pastilah bukan Hak Milik Swasta atau Individu. Ini adalah paradigma kepemilikan yang unik, berbeda dengan kapitalisme. Juga, berbeda dengan Sosialisme. Dengan perkataan lain, Sistem Ekonomi Islam memang betul-betul ada, nyata dan kongkrit. Kalaulah realita menunjukkan belum ada satu negara pun di dunia kiwari yang menerapkannya, itu adalah satu persoalan lain. Dalam konteks berbangsa dan bernegara di dunia modern kini, diperlukan semacam kontrak sosial melalui proses legislasi (taqnin) menuju pemberlakuan Sistem Ekonomi Islam di dalam kebijakan negara, dalam wadah masyarakat majemuk (multikultural).
Dalam konteks Indonesia kini, tampak kecenderungan menguatnya kebijakan privatisasi atau swastanisasi BUMN sejalan dengan arus globalisasi Kapitalisme neo Liberal. Beberapa BUMN yang justru sebenarnya tergolong Hak Milik Kolektif Rakyat dalam Sistem Ekonomi Islam, atau dalam rumusan Bung Hatta di pasal 33 ayat 2 dan ayat 3 UUD 1945 dikatagorikan sebagai cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat – diprivatisasi atau diswastakan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Kekonyolan pengkhianatan ini mencapai puncaknya ketika BUMN Indosat diprivatisasi ke tangan swasta asing milik Singapura. Inilah tragedi nasional yang sangat merugikan rakyat dan tumpah darah Indonesia. Sebuah pengkhianatan yang sulit kita maafkan.
KEPEMILIKAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Al-Qur’an Al-Karim, mengajarkan bahwa segala sesuatu di langit dan di bumi adalah milik / kepunyaan Allah SWT. “Kepunyaan Allah-lah segala sesuatu yang ada di langit dan segala sesuatu yang ada di bumi” (Al-Qur’an, surah Al-Baqarah ayat 284). Jelaslah bahwa segala sesuatu di alam semesta ini adalah mutlak milik Allah SWT. Sejalan dengan itu, nalarpun mengajarkan bahwa asal-usul hak kepemilikan sesuatu benda adalah berasal dari si pencipta benda tersebut. Allah SWT adalah Sang Maha Pencipta alam semesta, sehingga dengan sendirinya alam semesta mutlak milik-Nya. Kemudian Allah limpahkan berbagai jenis rizqi kepada manusia sebagai karunia sekaligus amanah, yang kelak harus dipertanggungjawabkannya di pengadilan akhirat di hadirat-Nya. Dengan sendirinya, pada hakikatnya kepemilikan manusia bersifat nisbi atau relatif. Ia merupakan amanah dari Allah SWT. Namun, sekalipun nisbi, Islam mengajarkan bahwa kepemilikan manusia tersebut bersifat sakral / suci. Sedemikian sehingga seseorang yang mati dalam rangka mempertahankan hak miliknya dari jarahan seorang perampok, dinyatakan berstatus mati syahid.
MENUJU DEFINISI SISTEM EKONOMI ISLAM
Syaikh Taqyuddin An-Nabhani, di dalam “An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam”, menyimpulkan bahwa Islam mengakui dan mengajarkan 3 jenis kepemilikan yaitu : Kepemilikan individu / pribadi / swasta, kepemilikan kolektif / publik / rakyat, dan kepemilikan negara. Ketiga jenis kepemilikan ini diatur oleh Sunnah Rasul secara rinci dan seimbang, dalam suatu tatanan masyarakat yang adil dan beradab.
Dengan merujuk kepada definisi Kapitalisme dan Sosialisme yang disusun oleh Abram Bergson, penulis mengajukan batasan Sistem Ekonomi Islam sebagai suatu sistem kemasyarakatan yang kepemilikan alat-alat produksi di dalamnya di atur secara seimbang dan adil oleh Al-Qur’an dan Sunnah Rasul menjadi 3 jenis kepemilikan yaitu : kepemilikan individu, kepemilikan kolektif rakyat, dan kepemilikan negara.
Pelaksanaan Sistem Ekonomi Islam secara utuh di dalam suatu tatanan kenegaraan bisa kita lihat di dalam periode kepemimpinan Rasulullah Muhammad SAW dan Khulafa-ur- Rasyidin di dalam Negara Madinah.
KEADILAN
Selain istilah Sistem Ekonomi Islam, dipakai juga istilah Sistem Ekonomi Syariah. Kerapkali dipakai istilah lain yang lebih generik, yaitu Sistem Ekonomi Berkeadilan. Keadilan adalah fondasi dan pilar utama rancang bangun Sistem Ekonomi Islam. Di dalam Al-Hisbah fi al-Islam’, Syaikh Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa keadilan adalah aturan main dalam segala urusan tanpa kecuali. Ketika urusan dunia ditegakkan dengan keadilan, tegaklah dunia itu, meskipun penghuninya kafir dan di akhirat tidak akan memperoleh apapun. Sebaliknya, jika tidak ditegakkan dengan keadilan, hancurlah dunia itu, meskipun penghuninya beriman dan dapat memperoleh pahala akhirat dari imannya. Jadi wujud kongkrit dari pelaksanaan Sistem Ekonomi Islam adalah tegaknya keadilan dalam segenap aspek, dari hulu sampai ke hilir, dalam produksi, distribusi maupun konsumsi. Dalam setiap transaksi bisnis, dalam setiap jenis investasi, dalam setiap akad perjanjian kerjasama bisnis.
Sejalan dengan itu, Syaikh Abul A’la Al-Maududi pun menyimpulkan bahwa sokoguru dari Sistem Ekonomi Islam terkandung di dalam kalimat sederhana yang universal ini :
“agar harta itu jangan hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja di antara kalian” (Al- Qur’an, surah Al-Hasyr ayat 7-8)
Pada gilirannya, ini akan menggerakkan sektor riil, menumbuhkembangkan sektor perdagangan, memacu investasi, membuka lebar-lebar berbagai jenis lapangan pekerjaan, dan pada akhirnya menguatkan fundamental perekonomian negara.
PRAKTEK KAPITALISME SEBAGAI ADIKUASA PEREKONOMIAN DUNIA
Julian Hochfeld, seorang sosiolog Polandia, pernah menyatakan bahwa ada tiga cara pandang terhadap Kapitalisme yaitu : wujud Kapitalisme sebagai ‘cara produksi’, wujudnya sebagai ‘kerangka sosioekonomi’, dan wujudnya sebagai ‘mentalitas’.
Bagaimana cara Kapitalisme dalam wujud ‘cara produksi’ dan ‘kerangka sosioekonomi’ menggurita menguasai perekonomian dunia khususnya negeri-negeri Selatan diuraikan oleh John Kenneth Galbraith sejak 50 tahun yang lalu melalui tiga buku yang fenomenal : 1. The Affluent Society, 2. The New Industrial State, dan 3. Economic and The Public Purpose.
Pada garis besarnya beliau gambarkan sebuah skenario sistematik untuk menjajah perekonomian negeri-negeri Selatan pada khususnya. Garis besar skenario tersebut dapat diuraikan secara ringkas sebagai berikut :
Menurut beliau perusahaan-perusahaan yang akan tumbuh pesat bukanlah perusahaan- perusahaan kecil, melainkan perusahaan-perusahaan ‘raksasa’ (giant corporation) atau disebut juga perusahaan-perusahaan ‘konglomerat’ (conglomerate corporation). Mengingat besarnya jumlah modal yang ditanamkan, perusahaan-perusahaan ‘konglomerat’ tersebut niscaya berusaha menguasai jaringan perekonomian dari hulu sampai ke hilir melalui aksi- aksi monopoli, oligopoli dan atau kartel. Pada arah ke hulu setiap perusahaan konglomerat akan berusaha melakukan integrasi agar semua pasokan material berjalan lancar, sementara ke hilir mereka akan menggarap consumers agar produk-produknya senantiasa terserap pasar. Dalam perspektif perusahaan ‘konglomerat’, setiap pemerintah negeri-negeri Selatan diposisikan sebagai mitra penyedia infrastruktur. Sementara setiap lembaga pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, diposisikan sebagai lembaga mitra penyedia technocrat (tenaga ahli). Akhirnya dengan dalih kepentingan publik (public interest), pemerintah-pemerintah dan lembaga-lembaga pendidikan tinggi di negeri-negeri Selatan diatur-atur oleh perusahaan ‘konglomerat’, sehingga alih-alih sebagai mitra seluruh pemerintah dan lembaga pendidikan tinggi tersebut diperlakukan sebagai budak oleh perusahaan ‘konglomerat’. Skenario tersebut di atas ternyata berjalan dengan sangat mulus di semua negeri-negeri Selatan selama 50 tahun paruh terakhir abad 20 Masehi.
JEBAKAN KAPITALISME MELALUI MATA UANG HAMPA
Sejarah mata uang selama ribuan tahun berhasil direkayasa secara luar biasa selama satu abad terakhir oleh Sistem Kapitalisme menjadi alat penjajahan yang luar biasa efektif melalui penciptaan mata uang hampa (fiat money). Sejak semula di zaman Yunani kuno pertumbuhan mata uang dari era barter menuju uang komoditas, kemudian berlanjut ke era uang kartal, senantiasa mensyaratkan bahwa setiap mata uang harus secara mutlak benar- benar bernilai intrinsik. Artinya pada dirinya sendiri, sekurang-kurangnya dari sisi bahan baku, setiap mata uang benar-benar bernilai sepadan dengan nilai nominal yang tertulis. Dengan demikian nilai setiap mata uang dijamin secara mutlak oleh dirinya sendiri. Hal itu mula-mula diwujudkan dengan bahan baku logam mulia yaitu emas dan perak. Bahkan dalam buku induk sosiologi, yaitu kitab Muqaddimah, Ibnu Khaldun meyakini bahwa Allah sengaja menciptakan dua logam mulia itu sebagai alat pengukur nilai bagi setiap komoditas. Sejarah tersebut mulai bergeser, ketika Sistem Kapitalisme menciptakan uang kertas substitusi, yang pengadaannya dijamin seratus persen oleh jaminan emas. Namun dalam perkembangan lebih lanjut uang kertas substitusi tersebut kemudian digeser oleh mata uang kertas hampa (fiat money) yang hanya semata-mata dijamin oleh tandatangan otoritas moneter. Nilai tukar mata uang hampa hanya ditentukan oleh kepercayaan pasar terhadap otoritas moneter. Jadi semata- mata lebih berdasarkan sentimen pasar tanpa adanya dukungan nilai intrinsik emas. Kondisi ini membuka lebar-lebar pintu spekulasi bagi para pelaku pasar khususnya para fun manager di berbagai bursa valuta asing. Dalam kacamata Islam ini berarti membuka pintu dosa tiga jenis kemaksiatan sekaligus yaitu perjudian + gharar + riba fadl. Dari sinilah berawal perjudian besar-besaran di seluruh pelosok dunia dalam bentuk mencari marjin fluktuasi naik turunnya nilai valuta asing. Dan dari sini jugalah bermuara semua gonjang ganjing ketidakstabilan moneter dunia. Inilah wujud merajalelanya kapitalisme sebagai mentalitas. Bahkan A. Riawan Amin, ketua Asosiasi Bank Syariah Indonesia (ASBISINDO) menyimpulkannya sebagai Satanic Finance (Keuangan Setan) sebagaimana tertera dalam buku yang beliau tulis satu tahun yang lalu.
Bahkan kondisi ini diperparah lagi oleh keserakahan para pelaku pasar dalam bidang keuangan melalui penciptaan berbagai instrumen derivatif, semisal commercial papers, mortgage back securities, short selling, credit default swaps (CDS), dan lain-lain, yang kesemuanya mendorong terbukanya pintu spekulasi secara besar-besaran. Tujuh tahun lalu, Warren Buffett, chairman Berkshire Hathaway, orang terkaya di dunia pada tahun 2007 sudah menyatakan : “Derivatif adalah senjata pemusnah massal keuangan. Saya tidak tahu kapan akan meledak, tapi suatu hari kelak pasti akan meledak.” Apa yang beliau ramalkan itu sudah terjadi selama dua tahun terakhir dalam bentuk depresi ekonomi dunia. Berawal dari gagal bayarnya kredit perumahan yang tidak layak, subprime mortgage, kemudian berlanjut ke semua sektor ekonomi. Malangnya tidak ada satupun pakar keuangan dunia saat ini yang bisa memprediksi kapan krisis ini akan berakhir.
JAWABAN KITA TERHADAP TANTANGAN KAPITALISME GLOBAL
Cukup banyak pemikir, ulama ataupun gerakan Islam yang menggambarkan respon ideal yang seyogyanya dilakukan oleh kaum Muslimin secara komprehensif dan mondial. Pada umumnya dinyatakan bahwa kita harus back to basic dengan mengikuti jejak Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin, yaitu dengan mewujudkan kembali Daulah Islamiyah atau Khilafah Islamiyah Internasional. Dari sanalah semua aksi tandingan untuk melawan kejahatan Sistem Kapitalisme bisa dilakukan secara terpadu. Namun bagi sebagian kaum muslimin ide tersebut dianggap terlalu idealistik dan kurang membumi. Bagi kalangan terakhir ini revitalisasi konfederasi yang sudah terwujud misalnya saja dalam bentuk Organisasi Konferensi Islam (OKI) terasa lebih realistis. Bahkan pada tingkat Negara Bangsa (Nation State) di masing- masing negeri kaum Muslimin, dari Maroko di Barat sampai Merauke di Timur, diperlukan perjuangan politik berupa usaha legislasi pemberlakuan Sistem Ekonomi Islam melalui peraturan perundangan masing-masing negeri. Jelaslah bahwa jalan masih panjang. Dibutuhkan perjuangan kita seluruh komponen umat Islam terus menerus untuk mewujudkan Sistem Ekonomi Islam dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
HIJRAH MENUJU SISTEM EKONOMI SYARIAH
Masalahnya sekarang, apakah kita harus menunggu hasil perjuangan politik berupa legislasi pemberlakuan Sistem Ekonomi Islam melalui peraturan perundangan? Tanpa menunggu jawaban positif terhadap pertanyaan ini – yang bisa jadi malah memicu kontroversi tersendiri – pada hemat saya, kita semua masing-masing bisa bertindak memberikan kontribusi positif. Yaitu dengan cara berhijrah dari sistem ekonomi konvensional yang kapitalistik menuju praktek ekonomi syariah yang adil. Dalam posisi apapun, kita masing-masing bisa melakukan hijrah al-qulub wa al-jawarih, menghijrahkan pusat kesadaran dan organ tubuh kita, dari praktek ekonomi dan bisnis yang kapitalistik, hedonistik, monopolostik,serakah dan kolutif, menuju praksis ekonomi dan bisnis yang lebih adil, beretika, beradab dan lebih manusiawi. Kongkritnya, pilihlah mata pencaharian dan bisnis yang betul-betul halal. Pilihlah makanan, minuman, obat dan kosmetik yang betul- betul halal dan thayyib. Pindahkan semua rekening deposito, giro dan tabungan, dari bank konvensional ke bank Syariah. Hanya berasuransi di lembaga asuransi Syariah. Bila akan berinvestasi belilah saham-saham perusahaan yang terdaftar di Jakarta Islamic Index (JII).
Jauhi semua praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Jauhi semua praktek monopoli, oligopoli dan kartel. Jauhi semua praktek gharar, spekulasi dan perjudian. Jauhi semua praktek kecurangan dan penipuan bisnis, baik dalam kuantitas, kualitas, harga barang, maupun waktu penyerahan barang. Bertindaklah profesional dan transparan dalam setiap urusan bisnis. Berlakulah seadil-adilnya terhadap semua stakeholder dan mitra bisnis. Pendek kata, jadilah pebisnis muslim yang adil, yang menjadi Rahmat bagi Semesta Alam. Insya Allah, setapak demi setapak, Sistem Ekonomi Islam akan maujud di tengah-tengah kita semua.
Amin, Amin ya Rabb al-’alamin.
Daftar Pustaka
An Nabhani, Taqiyudin, 2002, Mencari Sistem Ekonomi Alternatif, Risalah Gusti, Surabaya.
Amin, A. Riawan, 2007, Satanic Finance : True Conspiracies, Cetakan Kedua, PT. Senayan Abadi Publishing, Jakarta.
Hamidi, M. Lutfi, 2003, Jejak-jejak Ekonomi Syariah, Cetakan Kedua, PT. Senayan Abadi Publishing, Jakarta.
Khan, M. Akram, 1996, Economic Teaching of Prophet Mohammed : A Select Anthology of Hadith Literature on Economics, PT. BMI, Jakarta.
Meera, Ahamed Kameel Mydin, 2004, The Theft of Nations: Returning to Gold, Pelanduk Publication (M) Sdn Bhd, Kuala Lumpur.
Taimiyah, Ibnu, 2004, Tugas Negara Menurut Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Riwayat Hidup
Samsoe Basaroedin, dilahirkan di Sidoarjo pada tanggal 15 April 1956 M, bertepatan dengan tanggal 4 Ramadhan 1375 H. Tumbuhkembang di lingkungan keluarga jawa beraliran kejawen yang sinkretis. Menempuh pendidikan sekuler di sekolah-sekolah negeri, namun justru memperoleh pencerahan hidayah taufiq di kampus ITB. Setelah mengikuti Latihan Mujahid Dakwah Angkatan ke-40 di Masjid Salman ITB pada bulan Oktober 1979, dia berhijrah menuju kajian keislaman. Sejak tahun 1990-an dia fokus otodidak mendalami 2 bidang kajian : ekonomi Islam dan psikologi Islam. Hasil kerjanya dalam psikologi Islam diapresiasi luar biasa dan dimuat dalam buku teks “Psikologi Pertumbuhan” (terbitan ROSDA, th.2008), disejajarkan dengan tokoh-tokoh psikologi tingkat dunia, semisal Abraham Maslow, Carl Gustaf Jung, Victor Frankl. Dalam bidang ekonomi Islam, menjadi salah seorang tim penyusun Rancangan Undang-undang Pengelolaan Zakat, tahun 1999.