RISALAH ISLAM dan KEMAJEMUKAN MASYARAKAT MADANI

Rubrik Amki

Oleh : Samsoe Basaroedin .
( Wkl. Sekum PP Asosiasi Masjid Kampus Indonesia ).

Sesungguhnya risalah Islam yang abadi , sebagaimana pengutusan Rasulullah Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam , adalah mewujudkan rahmat bagi segenap alam semesta , demi kebahagiaan , kesejahteraan dan kemaslahatan umat manusia.

Al Qur’an surat 21 Al Anbiya’ ayat 107 :
“Dan tidaklah Kami utus engkau ( = Muhammad ) kecuali untuk menjadi rahmat bagi segenap alam “.

Tugas mulia ini , telah diemban , dilsksanakan dan diperjuangkan oleh Rasulullah Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam beserta seluruh sahabat yang mulia dengan memfungsikan Masjid Nabawi sebagai pusat pembinaan mujahid dakwah , pengembangan masyarakat madani dan pembangunan peradaban Islam yang agung.

Masjid adalah lembaga penjaga dan penegak nilai , pembangun moralitas umat manusia dalam kehidupan bermasyarakat , berbangsa dan bernegara.

Berawal dari masjid : Al Qur’an dan Sunnah Rasul diamalkan , ruh jihad dikumandangkan , amar ma’ruf dan nahi munkar diserukan , keadilan ditegakkan serta kebenaran dan kemerdekaan dipertahankan.
Berawal dari masjid jugalah berkembangnya masyarakat madani serta terwujudnya negeri sejahtera lahir dan batin.

Masyarakat madani atau Al Mujtama Al Madani , oleh Syed Muhammad Naquib Al Attas dinyatakan sebagai : masyarakat madani adalah ” a religion-based society founded upon ethics and moral system of Islam .”
Batasan ini beliau kemukakan di dalam buku beliau ” Islam : The Concept of Religion and the Foundation of Ethics and Morality yang diterbitkan oleh Angkatan Belia Islam Malaysia pada tahun 1976.

Definisi ringkas tersebut dapat dijabarkan sebagai sebuah masyarakat majemuk — multi kultural , multi etnis , multi religi — yang dibangun berdasarkan prinsip-prinsip asasi Islam dalam melindungi dan menghormati segenap warga , memajukan kesejahteraan lahir dan batin , mencerdaskan kehidupan dengan keadilan hukum , persamaan hak , toleransi , kontrol sosial , serta kemerdekaan beragama bagi warga non-muslim berdasarkan asas : tidak ada paksaan untuk ( memeluk ) agama ( Islam ).
[ QS Al Baqarah ayat 256 ] .

Batasan tersebut di atas , jelas sejalan dengan cita-cita Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur — visi impian kaum muslimin sepanjang masa.

Visi tersebut sewaktu era Madinah terealisasi dalam wujud praksis Negara Madinah oleh Rasulullah Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam beserta kaum muslimin Muhajirin dan Anshar. Kemajemukan masyarakat Madinah saat itu — masyarakat multi kultural , multi etnis multi religi — diikat oleh sebuah kontrak sosial tertulis yang secara jenial disusun oleh Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam setelah bermusyawarah dengan seluruh kepala-kepala suku yang mewakili kepentingan etnis dan religi warga negara Negara Madinah.

Kontrak tertulis tersebut juga merupakan sebuah konstitusi tertulis yang pertama di dunia. Konstitusi tertulis ini biasa disebut Piagam Madinah ( Dustur Madinah ).

Piagam ini merupakan wujud kesepakatan antar berbagai etnis yang memeluk bermacam agama.
Di dalamnya terkandung prinsip-prinsip dasar sebuah pemerintahan negara. Melalui piagam ini , diperkenalkanlah konsep ” ummah ” untuk menciptakan kohesi sosial , memperkuat titik-titik temu sosial , politik dan ekonomi di antara berbagai kemajemukan masyarakat multi kultural di Madinah.

Dalam bingkai kesatuan ummah itulah diletakkan prinsip-prinsip toleransi , keadilan , musyawarah ( syura ) , perdamaian , supremasi hukum , persamaan hak , partisipasi politik , kontrol sosial , kebebasan beragama , kemerdekaan dari kemiskinan dan rasa takut .

Di dalam Pasal 25 Piagam Madinah misalnya , ditegaskan prinsip kebebasan beragama : ” Bagi kaum Yahudi agama mereka , dan bagi kaum Muslimin agama mereka ” , sebagai implementasi surat Al Kafirun ayat 6 :
” Bagi kalian agama kalian , dan bagiku agamaku “.

Pada dasarnya risalah Islam memang ditujukan kepada kondisi masyarakat majemuk .

Bahkan Al Qur’an surat Al Hujurat ayat 13 memberikan pedoman pengelolaan kemajemukan bangsa ; etnis dan budaya :
” Wahai sekalian manusia ; sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang wanita ; dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling kenal-mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa di antara kalian . “

Ayat tersebut mengajarkan :

Pertama ; doktrin persamaan hak bagi manusia. Persamaan hak ini berlaku untuk seluruh manusia tanpa melihat perbedaan kelompok ; etnis ; warna kulit ; kedudukan dan keturunan.

Kedua ; doktrin pengakuan atas eksistensi bangsa-bangsa ( syu’ub ; bentuk tunggalnya : sya’b ) dan eksistensi suku-suku ( qabail ; bentuk tunggalnya : qabilah ) .
Keberadaan bangsa ; suku dan ( dengan sendirinya ) budaya yang beraneka diakui dan dikehendaki oleh Allah SWT. Bukan untuk saling bertikai ataupun saling leceh- melecehkan ; melainkan untuk saling mengenal satu sama lain termasuk mengenal kelebihan dan kekurangan diri sendiri maupun pihak lain .
Pada gilirannya akan tercipta situasi saling menghargai dan saling sharing penuh keselarasan.

Mosaik ” Negara Damai Sejahtera” semacam itulah , yang oleh Robert N. Bellah , di dalam buku beliau ” Beyond Belief ” , dikomentari sebagai terlalu modern untuk ukuran zamannya.

Jadi , konsep Masyarakat Madani di Negara Madinah tersebut , seyogyanya menjadi semacam ” blue print ” sosial yang menjadi acuan pelaksanaan Syariat Islam di manapun sepanjang masa.

Ironinya , justru pasca era Orde Baru , sepanjang era Reformasi yang sudah berlangsung selama 24 tahun lebih — disadari atau tidak — realitas sosial politik ekonomi di Indonesia , telah merontokkan segenap tatanan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia , justru pada sendi utamanya , yaitu kemajemukan sebuah masyarakat multi kultural ; multi religi dan multi etnis .

Betapa bangsa ini bagai terbelah , istilah cebong-kampret , pelabelan ” kadrun ” secara sewenang-wenang , perlakuan hukum diskriminatif , membanjirnya fitnah tuduhan anti NKRI , radikal dan pelabelan terorisme terhadap sebagian ulama dan kaum muslimin , pembullyan simbol-simbol keislaman , membanjirnya proyek-proyek mercu suar yang lebih mementingkan interest oligarki dan bukannya kepentingan rakyat , bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia .

Kenyataan pahit ini masih harus ditambah menggunung nya hutang luar negeri , justru di tengah korupsi yang merajalela baik di jajaran eksekutif , legislatif maupun yudikatif .

Saat ini , setelah terpapar wabah pandemik covid nyaris selama 3 tahun , jumlah rakyat yang fakir dan miskin mencapai 115 juta orang , sebuah angka yang Na’udzu bi-Llahi min dzalika , sangat memprihatinkan.

Sekaranglah saatnya , dakwah bi lisanil maqal berbentuk Nahi Munkar dan dakwah bi lisanil Haal berbentuk pengamalan filantropi harus ditegakkan secara sungguh-sungguh.

Hendaknya para kader dakwah Islam menjalankan prinsip-prinsip dakwah yang penuh keadilan , kebajikan dan kasih sayang terhadap sesama warga bangsa.
Perlakukan semua manusia dengan kebajikan dan kasih sayang , walaupun mereka tidak mengakui kebenaran Islam dan juga tidak memeluknya , selama mereka tidak menghalangi dakwah Islam , tidak memerangi para penyeru dakwah Islam , serta tidak menindas dan
menzhalimi para pemeluk Islam.

Keluarkan lah Zakat harta bagi semua Muzakki . Galakkan infaq , shadaqah dan waqaf dalam semua bentuk mauquf alayh berupa program-program nyata pemberdayaan fakir dan miskin agar mereka bisa lolos dari jeratan kefakiran dan kemiskinan .

Semoga dengan langkah – langkah konkrit dakwah yang simpatik dan empatik tersebut , Allah SWT berkenan membuka pintu-pintu keberkahan dengan rahmat dan kasihsayang-Nya.

Semoga Allah SWT meridhai semua langkah dan upaya kita dalam mengembangkan masyarakat madani menuju terwujudnya negeri sejahtera lahir dan batin : Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur , di Indonesia.

In sya’Allah.
Aamiin ya Mujibas Saayliin.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *