Memaknai Hadits

Rubrik Amki

Saya acapkali , dalam masalah-masalah furu’ yang bersifat ijtihadiyah , seringkali mengutip hadits shahih muttafaq alayh , dari sahabat-sahabat Amr bin Ash R’A dan Abu Hurairah R’A :
” Apabila seorang hakim berijtihad , tetapi ternyata salah , maka dia memperoleh satu pahala. Dan apabila benar , akan mendapatkan dua pahala .”
( HR Bukhari : 8352 ) ( HR Muslim : 1716 ).

Saya pribadi , memahami bahwa hadits tersebut memotivasi para hakim untuk berani memutuskan pengambilan keputusan dalam perkara apapun yang belum ada preseden dan contoh sebelumnya. Tentu saja ini mutlak dibutuhkan , karena peradaban manusia dinamis dan berkembang dari masa ke masa.
Bagian terpentingnya adalah : keputusan seorang hakim yang adil dan jujur , dalam perkara apapun — benar ataupun salah ( hasil keputusannya ) — tidak pernah tergolong dosa, karena senantiasa berpahala.
Jadi , problemnya bukan besar-kecilnya pahala. Namun lebih kepada hajat akan keputusan / vonis yang muncul dari upaya keras dan serius untuk menyimpulkan / istinbath hukum dengan mengerahkan segala daya kemampuan akal dan nurani sang hakim.

Begitupun terkait berbagai ikhtilaf hal-hal furu’ terkait baik ‘ibadah ritual , muamalah , siyasah , munakahah , maupun muwaratsah.
Itu bisa mengemuka dalam hal miqat makani jamaah haji gelombang ke 2 : di angkasa di atas Qarnul Manasil kah ? , ataukah di Bandara Jeddah ?
Bisa terkait kapan tepatnya bulan baru ( 1 Ramadhan , 1 Syawal atau 1 Dzulhijjah ).

Yang ingin saya garisbawahi : tidak boleh menghakimi pihak yg berbeda pendapat dengan kita , dengan ungkapan-ungkapan yg tidak layak dan tidak pantas diucapkan untuk saudara kita sesama muslim.
Apatah lagi memvonis : bid’ah , fasiq , dan semacamnya.

Sebetulnya , dalam hal-hal yang bersifat area publik & kemasyarakatan , ada kaidah fiqih yang bisa menjembatani , yaitu apabila ada keberadaan seorang hakim / qadhi / mufti negara.
Kaidah fiqih tersebut bisa kita temukan , misalnya di dalam kitab
Al-Ibaahah ‘inda al-Ushuliyyin wa al-Fuqaha — karya Salam Madkur :

” Hukum yang diputuskan oleh hakim dalam masalah-masalah ijtihad , akan menghilangkan perbedaan pendapat “.

Masalahnya , kita di Indonesia tidak memiliki hakim / qadhi / mufti negara.
Berbeda halnya dengan Malaysia , Mesir, Saudi Arabia , Brunei Darussalam , dan lain-lain.

Walhasil , kaum muslimin Indonesia betul-betul harus tasamuh dan saling menghormati ikhtilaf ijtihadiyah yang wujud di antara kita.

Sekali lagi saya garisbawahi : Bukan soal pahala 2 atau pahala 1 , namun tidak ada yang berdosa dalam hal ikhtilaf furu’ ijtihadiyah.

Salam takzim.
Samsoe Basaroedin.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *